Esay Talkshow Di Radio Rasika USA "Peran Mahasiswa Teknik Di Era MEA"



PERAN MAHASISWA TEKNIK SIPIL DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)
oleh : Iwan Saputra 
Materi Ini juga telah disampaikan dalam acara Talk Show UNDARIS bersama Radio Rasika USA 105,6 FM
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau ASEAN Economic Community merupakan realisasi pasar bebas yang dilaksanakan oleh negara-negara Asia Tenggara diantaranya, Filipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Myanmar, Vietnam, Laos, Kamboja dan Indonesia. Pembentukan MEA dilandaskan pada empat pilar. Pertama, menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan pusat produksi. Kedua, menjadi kawasan ekonomi yang kompetitif. Ketiga, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang seimbang, dan pilar terakhir adalah integrasi ke ekonomi global.
Tujuan dibuatnya Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yaitu untuk meningkatkan stabilitas dan pertumbuhan perekonomian dikawasan ASEAN, sehingga dengan dibentuknya kawasan ekonomi ASEAN 2015 ini diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah terutama di bidang ekonomi antar negara ASEAN, dan untuk di Indonesia diharapkan tidak terjadi lagi krisis yang pernah terjadi di negara ini.
Penyatuan ini ditujukan untuk meningkatkan daya saing kawasan, mendorong pertumbuhan ekonomi, menekan angka kemiskinan dan untuk meningkatkan standar hidup masyarakat ASEAN. Integrasi ini diharapkan akan membangun perekonomian ASEAN serta mengarahkan ASEAN sebagai tulang punggung perekonomian Asia.
Dalam persaingan MEA setidaknya ada 8 profesi yang akan menjadi sasaran untuk persaingan, diantaranya adalah, profesi insinyur, arsitek, tenaga pariwisata, akuntan, dokter gigi, tenaga survei, praktisi medis dan perawat. Salah satu sasaran profesi yang akan menjadi sasaran persaingan adalah di bidang teknik yaitu profesi insinyur, arsitek, dan tenaga survei. Dalam hal ini sebagai calon sarjana dibidang teknik sipil yang harus dipersiapkan adalah kualitas serta kuantitas sarjana untuk menangani proyek-proyek yang sedang gencar gencarnya dilakukan yaitu proyek infrastruktur.
Dalam pembangunan infrastruktur, kebutuhan tenaga kerja insinyur yang merupakan salah satu “kekuatan” Indonesia masih kalah jauh dari negara tetangga baik dari segi jumlah/rasio serta sertifikasi keahlian. Seperti yang pernah disampaikan Bapak Presiden Ir. Joko Widodo “Ini yang kita khawatirkan, kita akan menggarap infrastruktur, baik jalan tol, kereta api, dermaga, kemudian investor sudah masuk, ketakutan dan kekhawatiran kita kekurangan SDM di bidang teknik, ini yang agak sedikit kita khawatirkan.” Presiden Ir. Joko Widodo khawatir pembangunan infrastruktur besar-besaran yang sudah dimulai dibangun sejak 2015 dan lima tahun mendatang terkendala karena kurangnya insinyur di Indonesia saat ini.
Dalam lain kesempatan, Menko Perekonomian mengatakan bahwa saat ini sebagian insinyur yang ada bekerja diluar bidangnya. “Kita kekurangan insinyur untuk pembangunan infrastruktur kita. Ini sedang kita hitung, dan kita khawatir hal ini,” jelasnya. Harus diakui tenaga kerja insinyur sangat dibutuhkan dalam menggerakkan industri EPC (Engineering Procurement, and Construction) nasional. Masalahnya, saat ini, 70% proyek besar di Indonesia dikuasai industri EPC asing seperti pembangkit listrik, pengeboran migas laut dalam, dan lainnya. Kemudian EPC nasional masih dianggap kurang mampu dalam pekerjaan yang menuntut kompleksitas tinggi.
Dengan melihat permasalahan dan peluang yang ada, maka diperlukan penerbitan kebijakan yang mensyaratkan keterlibatan pelaku industri EPC nasional dalam setiap pelaksanaan proyek infrastruktur. Dimana target yang diharapkan yaitu pelaku industri EPC Indonesia memiliki daya saing untuk mengerjakan proyek infrastruktur nasional, bahkan regional maupun internasional. Tentunya dengan kualifikasi dan kompetensi tingkat dunia.
Disamping itu perlunya peningkatan jumlah perusahaan swasta yang mendukung industri EPC tersebut, dalam hal ini yaitu industri pemasok kontraktor seperti baja, semen, heavy equipment, dan lainnya. Maka disinilah pentingnya memersiapkan generasi insinyur “technopreneur”, yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan tersebut, bukan hanya pencari pekerjaan dengan gaji tinggi yang selama ini didominasi perusahaan asing. Untuk dapat menjadi prioritas dalam pembangunan infrastruktur tersebut, tentunya perlu dipersiapkan pula pendidikan Insinyur yang tidak hanya menghasilkan tenaga pelaksana lapangan pembangunan infrastruktur saja, namun mampu menggerakkan proses bisnis pembangunan infrastruktur tersebut.
Beberapa solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan peran insinyur Indonesia dalam pembangunan infrastruktur menghadapi AEC yang telah berjalan dari tahun 2015 di antaranya adalah mengubah ‘mindset’ dari pencari kerja menjadi pencipta kerja produktif sehingga kita bisa mengurangi pengeluaran dan memperbesar pemasukan bagi negara kita. Diversifikasi dan peningkatan nilai tambah bahan (added value) peran insinyur dalam pembangunan infrastruktur agar tidak hanya mendahulukan EPC asing, namun melibatkan EPC nasional yang berdaya saing internasional. Meningkatkan `competitiveness’ sumberdaya manusia khususnya insinyur karena kunci dari kemajuan bangsa adalah bukan karena kekayaan alamnya melainkan SDM yang ada di dalamnya. Mempersiapkan lulusan perguruan tinggi yang mampu berkompetisi minimal di tingkat ASEAN (kedepan semua profesi harus memiliki sertifikasi tingkat ASEAN) dan membangkitkan semangat tinggi seluruh tenaga profesional. Sehingga negeri ini akan tetap berdiri kokoh dan menjadi negeri adi daya.

Sumber : http://pii.or.id/mea-insinyur-indonesia-vs-insinyur-asing-dalam-pembangunan-infrastruktur-indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perjalanan Religi ke Mbah KH Sholeh Darat Semarang

Be The Best of You

#Part1 "Mimpi, Kreativitas dan Kemandirian"